Menag Nilai Agama Modal Indonesia Rajut Persatuan

By Admin


nusakini.com-Jakarta-Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan nilai-nilai agama menjadi modal dasar yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dalam ikut andil merajut dan menyatukan masyarakat heterogen dan beragam. 

Hal ini disampaikan Menag Lukman Hakim saat menjadi pembicara Seminar Internasional Penaskahan Nusantara dengan tema' Nilai-nilai Luhur Keagamaan dalam Naskah Nusantara sebagai Acuan Kehidupan Beragama di Indonesia', di auditorium Perpustaan Nasional (Perpusnas) RI di bilangan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (19/09). 

Selain Menag Lukman Hakim, seminar dalam rangkaian Festival Naskah Nusantara IV 16-22 September 2018 itu juga menghadirkan dua narasumber yaitu budayawan Mudji Sutrisno dan ahli filologi Nusantara, Edwin Wieringa. Seminar dihadiri ratusan pegiat filologi, masyarakat pegiat penaskahan nusantara dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta.   

"Tema seminar ini penting dan menjadi magnet bagi saya untuk hadir. Bukan semata karena saya Menteri Agama yang mengurusi hal ikhwal kehidupan keagamaan pada sebuah bangsa yang religius, tapi bagi saya tema ini penting karena nilai-nilai agama menjadi modal dasar yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dalam ikut andil merajut dan menyatukan masyarakat yang sangat heterogen dan beragam," kata Menag. 

"Belajar dari masa lalu, menjadi sangat penting untuk bagaimana mempersiapkan diri menuju masa depan. Kita bisa seperti sekarang karena masa lalu, dan seperti apa masa depan sangat tergantung bagaimana mempersiapkan diri saat ini. Jadi ada keterkaitan yang tidak terputus antara masa lalu, sekarang dan masa depan," sambung Menag. 

Menurut Menag, dalam konteks Indonesia, nilai-nilai agama menjadi sesuatu yang sangat penting dan oleh para pendahulu dijadikan sebagai perekat dan persatuan. Semua anak bangsa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ini menjadi khas Indonesia. 

Memahami nilai agama, ditambahkan Menag, perlu kearifan yang tentu baru didapatkan setelah masyarakat memiliki wawasan dan pengetahuan memadai. Karena untuk sampai pada subtansi ajaran agama itu, pemeluknya mengacu pada teks pada kitab suci. 

"Tantangan bagi kita memahami nilai luhur itu seperti apa, maka kontekstualitas memahami naskah kuno menjadi niscaya. Diperlukan saat ini adalah pemaknaan tehadap peninggalan masa lalu dan itu sangat tergantung pada wawasan dan keberpihakan kita dalam menerjemahkan masa lalu," ujar Menag. 

Di hadapan peserta seminar, Menag mengatakan Kementerian Agama sendiri sejak awal tahun 2000 telah menggagas Program Inventarisasi, Preservasi, Katalogisasi, Digitalisasi, dan Kajian terhadap manuskrip-manuskrip keagamaan nusantara. Selain itu, melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, ada program 5000 Doktor yang juga menyediakan beasiswa S3 khusus untuk Program “Indonesian Philology and Islamic Studies”. 

Terkait naskah nusantara, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kemenag RI dalam waktu dekat akan memiliki Pusat Kajian Manuskrip Nusantara. "Kalau penyimpanan manuskrip nusantara ada di berbagai negara, seperti di Leiden Belanda. Menurut hemat saya kita tidak perlu tempat penyimpanan manuskrip namun yang diperlukan adalah kajiannya. Maka pusat kajian manuskrip nusantara ini sangat penting agar benda-benda masa lalu tetap hidup dan memberi makna," tandas Menag. (p/ab)